Senin, 05 Mei 2014

Matahari Masih Menyayangi Bumi



Matahari Masih Menyayangi Bumi
by : Ririn Nurlatifatun


 
            Ini tidak hanya sekadar mengagumi tapi lebih kepada menyukai, atau mungkin menyayangi bahkan lebih dari itu, mencintai! Yah, mungkin benar, witing tresna jalaran saka kulina.  Awalnya, tidak pernah sedikitpun terpikir olehku untuk bisa menyayangimu. Bahkan, ketika teman-temanku menilai bahwa aku akan bahagia bila bersamamu, aku tidak memerdulikan kata-kata mereka, aku hanya menganggapnya sebuah lelucon belaka.
            Mungkin mereka hanya ingin menghiburku, atau mungkin hanya ingin aku cepat berlalu dari sebuah kisah bodoh di masa lalu yang selama ini masih membayangiku, sebuah kisah dimana aku sangat menginginkan seseorang untuk bisa aku miliki tapi sialnya, dia tidak pernah mengaharapkanku, dia bahkan tak menganggapku.
            Aku mungkin sangat menyukainya, hingga teman-temanku bilang bahwa ini bukan lagi tentang perasaan cinta, tapi lebih kepada obsesi semata. Benarkah hanya obsesi? Aku pun tak mengerti. Yang pasti, kedekatan di masa lalu atau mungkin saat ini, tidak menjamin kebersamaan antara dua orang di masa depan, aku meyakininya. So, buat apa memikirkan masa lalu yang hanya membuatku tenggelam dan tidak bisa menikmati hidup.
            “Move on, La, harus! Semangat, aku yakin pasti kamu bisa. Ini mudah, kamu hanya butuh mencoba suka dengan orang lain, dan semua akan beres! Pastinya.” Aku mencoba memotivasi diriku sendiri.
            “Apa aku bisa? Benarkah? Sungguh ? Apakah aku yakin untuk memulai sesuatu yang baru dan melupakan rasa sayang ini yang sudah lama aku simpan dan hanya butuh penantian sedikit lagi untukmu menanti?”
            Sisi jahatku mulai bicara, “Relakah kamu, dia dengan orang lain? Beneran? Kalo aku jadi kamu sih gak rela! Ini terlalu panjang untuk begitu saja dilupakan. Kalau perlu, kamu rebut dia dari pacarnya yang sok cantik itu, kamu gak kalah cantik, La.”
            “Jangan begitu, La. Biarkan dia bahagia dengan pilihannya, begitu juga dengan kamu, kamu pantas mendapat yang lebih baik. Jangan sia-siakan hidupmu hanya untuk menunggu orang yang sama sekali tidak ada respon ke kamu. Mungkin dulu dia pernah benjaji untuk selalu bersamamu, aku tahu ini mungkin sulit bagimu untuk melupakannya begitu saja, tapi maafkanlah dia, La, dan mulailah mencoba hal yang baru. Kamu tidak membutuhkannya, buktinya sampai sekarang kamu masih hidup.”   
            “Aduh, kalian membuatku pusing. Tau ah!”
            Pagi ini, entah hari ke berapa, Younis menjemputku. Kami pun berangkat bersama ke sekolah.  Naik sepeda! Jarak rumah kami ke sekolah memang cukup dekat, begitu juga dengan jarak rumahku dengan Younis, sekitar 500m, aku mulai menyadarinya saat kami ternyata bersekolah di SMA yang sama, keterlaluan! Itulah anak muda zaman sekarang, kurang sosial!
            “La, udah ditunggu Younis di depan. Cepat berangkat gih, hati-hati.”
            “Iya, Ma.” Aku mencium tangannya, lalu berlalu.
            Terlihat Younis sudah menungguku di depan rumah. Aku segera mengambil sepedaku dan mulai mengayuhnya. Terlihat seulas senyum menyambutku, menambah segar udara pagi ini. Kami siap berangkat ke sekolah.
            “Kamu lagi bahagia ya? Ada apa sih? Dapat undian berhadiah?”
            “Lebih dari undian berhadiah.” Younis menjawab dengan ramahnya.
            “Terus apa? Sampai segitu bahagianya. Kasih tau dong, kalau enggak, awas!”
            “Kalau aku enggak mau cerita memangnya kenapa? Aku cuma takut kalau aku bilang, kita gak bisa deket kayak gini lagi. Aku maunya kita tetep kayak gini, La.”
            Dia memandangku. Aku agak sedikit senang, bingung tapi juga agak kecewa karena Younis tidak mau cerita. Ya sudahlah, aku hanya butuh memberinya waktu, nanti juga kalau waktunya tepat, pasti dia cerita.
***
            “Sial! Selalu seperti ini.” batinku.
            “Kenapa lagi, La? Younis ninggalin kamu di parkiran? Lagi? ” Aneke mengagetkanku.
            “Kamu tuh hobi ya ngagetin orang? Tapi, bener juga sih, ini udah yang ke sekian kali, Younis ninggalin aku diparkiran. Selalu seperti ini. Mungkin dia malu kali ya kalau ketahuan anak-anak kalau kami lagi barengan.”
            “Loh kok jadi meracau gitu sih, itu cuma perasaan kamu, La. Mungkin dia buru-buru, belum ngerjain PR kali.”
            “Setiap hari gak ngerjain PR? Gak mungkin banget! Aku udah ngingetin dia setiap hari untuk ngerjain PR, mana mungkin lupa.”
            Bodo ah! Aku segera menggandeng tangan Aneke masuk ke kelas tanpa ingin melanjutkan percakapan tentang Younis di parkiran tadi.
            Saat istirahat tiba, ini sudah menjadi kebiasaan kami, Aneke, Nanas, Rena, dan aku untuk pergi ke perpustakaan. Kami menyadari bahwa kami sudah kelas 3, tidak ada waktu lagi untuk hanya sekadar bermain-main, kami ingin menambah wawasan di sana, syukur-syukur ketemu Younis.
            Aneke, Nanas, dan Rena memutuskan duduk di bangku sebelah belakang pojok setelah mereka mendapat buku yang mereka cari, juga untuk menungguku. Yah, sudah 15 menit aku disini, dan belum kutemukan buku yang aku cari.
            “Nah, ini dia, ketemu juga akhirnya.”
            “Nas, Ke, Ren, udah ketemu nih bukunya. Cabut yuk.”
            “Karena kita bertiga udah nunggu kamu lama, kamu harus bawain buku-buku kita, La, haha. Kita mau mampir kantin dulu, ntar kamu nyusul aja yah, atau mau nitip?” kata Rena.
            “Sialan kalian, sahabat macam apa coba? Wuu. Yaudah sana, aku nitip minuman aja.”
            “Byeee, Lala sayang. Semangat bawa bukunya ya..” Nanas menimpali.
            Akhirnya aku membawakan buku-buku mereka, cukup berat juga, aku tidak bisa begitu jelas memandang ke arah depan, tumpukan buku-buku ini menghalangi pemandanganku. Apa jadinya ya, kalau ada yang menabrakku dengan tumpukan buku seperti ini. Benar saja, baru aku memikirkannya, kejadian juga deh.
            Brukk..brukk.
            Seseorang menabrakku. Buku-bukunya berantakan semua. Kacau!
            Aku segera membereskan buku-bukunya, belum sempat melihat siapa yang menabrakku. Aku mencoba melihatnya, berniat memakinya karena dia sama sekali tidak membantuku. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun, itu yang menggambarkan sosok di depanku ini. Aku perkirakan tingginya 165an, aku hanya bisa melihat kakinya yang tepat berada di depanku yang seolah bisa sewaktu-waktu menendangku. Kalau dia berani, akan aku tonjok wajahnya.
            Perlahan aku mendongak ke atas. Aku menemukan sosok yang aku cari saat memutuskan ke perpustakaan tadi. Younis!
            Kalimat makian yang tadi sudah aku rencanakan seakan tidak mau keluar dari mulutku. Sesaat kemudian, tubuhku kaku, tidak ada kata yang mampu aku ucapkan, lebay! Di hadapanku, sekarang berdiri seorang cowok yang aku suka, dia bersama teman-temannya, entah kemana tujuan mereka, aku tidak begitu peduli.
            Aku memandangnya, meneliti setiap lekuk wajahnya, dan memang benar ini Younisku. Tapi kenapa dia hanya diam, tidak menyapaku sama sekali, seolah kita tidak pernah dekat satu sama lain, yang lebih parah kita seolah tidak pernah kenal, ini seperti pertemuan yang pertama kalinya.
            “Fi, kamu kenal cewek ini?” Tanya salah seorang teman Younis. Yah, kebanyakan anak-anak manggil Younis dengan nama Rifian, nama engkapnya kan Younis Rifian Pradipta, aku lebih suka memanggilnya Younis.
            Reflek Younis, “Ehh apa? Enggak kenal aku sama cewek ini. Anak baru kah?”
            Degggg! Perasaanku campur aduk. Kepalaku terasa berat, seperti ada sesuatu yang memenuhinya, ingin sekali meledak saat itu juga. Aku mencoba menahannya, tapi kejadian ini tidak bisa ditolerir!
            “Oke, Younis, fine! Jadi ini akhirnya? Kali ini, kamu aku maafkan, tapi lain waktu, tidak ada kata maaf!” batinku.
            Aku segera berlalu dari TKP. Terdengar suara mereka yang masih membiacarakan tentang tabrakan kami tadi, mungkin mereka mengira betapa terpesonanya aku pada Younis, bodoh sekali! Aku menyesalinya. Harusnya aku tadi menonjoknya biar dia tahu rasa, aku juga manusia, punya perasaan!
            Yah memang aku bukan termasuk cewek popular di sekolah, pantas kalau mereka tidak mengenalku. Tapi, tetap saja, huh!
            Hari ini benar-benar ingin cepat aku akhiri. Aku sudah tidak punya konsentrasi untuk pelajaran lagi. Pikiranku hanya tertuju pada Younis. Aku tidak menyangka bahwa akan secepat ini aku tahu buruknya.
            “Aku kecewa! Jangan harap aku memaafkanmu, Nis. @#$%!&@*@” reflek aku menggebrak meja.
            Pak Aji yang sedari tadi mengajar kelas XII A7 pun sontak kaget, tak mengerti apa yang sedang aku lakukan, tapi satu hal yang pasti dia mengerti bahwa sejak dari tadi, aku tidak mendengarkan pelajarannya, lebih tepatnya ceramahnya. Jadilah aku diusir dari kelas. Alkhamdulillaah hirobbil ‘aalamiin!
            “Cusss……Pulang! Asiikkkkk….” batinku.
            Aku menuju parkiran, mencari sepedaku. Sepedaku terparkir di sebelah sepeda Younis. Saking kesalnya aku pada sikap Younis, sepedanya pun jadi korbannya.
            “Heh kamu, bilangin ya sama majikanmu yang busuk itu, aku gak suka sama cara dia, kalau dia gak suka sama aku, suruh bilang langsung aja, gak usah sok gak kenal gitu. Kamu pasti gak merasakan kan gimana sakitnya aku? Eh, kamu kan gak punya hati ya? Sama kayak majikanmu tuh! Jangan harap, aku mau memaafkannya. @#$%%^&*”
            Lumayan, sedikit lega akhirnya, setidaknya emosiku bisa aku tumpahkan walau belum semuanya, terlintas dipikiranku untuk berteriak sepanjang jalan pulang, aku memang sudah gila. Ini semua gara-gara…..(kalian tau sendiri kan, tanpa aku ceritakan).
            Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Aku tidak makan, bahkan aku tidak lapar. Aku tidak tidur siang seperti biasa, bahkan aku tidak mengantuk. I’m gonna explode! Aku ingin menangis, meneteskan air mata, tapi aku tidak bisa, ini yang membuatku lebih sedih.
            Anyanghaseo…ada telepon masuk nih, angkat dong!
            Terdengar suara ringtone hapeku berbunyi untuk yang kesekian kalinya. Pasti Aneke, Nanas, atau Rena, pasti mereka khawatir dengan keadaanku saat ini. Sms mereka tidak ada satupun yang aku balas. Aku ingin menenangkan diri dulu, belum mau bercerita banyak, tapi aku berencana menceritakannya.
Kring..kring, sms diterima.
Perlahan aku membuka dan membacanya.
From : Younis
26/11/13 21:37
            Aku tahu kamu pasti marah.
        Aku tahu kamu pasti kecewa.
        Aku tahu sekarang kamu pasti sedang membutuhkan waktu sendiri. Sebelumnya, aku       minta maaf karena mengganggu istirahatmu.
From : Younis
26/11/13 21:40
            Aku juga minta maaf karena telah menyakiti hatimu.
        Bukannya aku tidak mau mengakuimu di hadapan teman-temanku, ini terlalu rumit,        La. Yang pasti, aku terlalu menyayangimu, hingga aku tidak mau menyakitimu    sedikitpun dengan memacarimu atau yang lainnya.
From : Younis
26/11/13 21:43
            Aku akan menunggumu, La, raih cita-citamu, gapai impianmu, buatlah orang yang         sayang padamu bangga akan dirimu, begitu juga aku, aku sedang berusaha.
        Disaat yang tepat, aku akan datang ke rumahmu, memintamu pada orangtuamu     secara resmi, bukan seperti ini. Aku harap kamu mengerti.



From : Younis
26/11/13 21:46
        Mungkin lebih baik kita berpisah sementara,sejenak saja menjadi kepompong dan menyendiri hingga tiba waktunya menjadi kupu-kupu yang terbang menari   ,melantunkan kebaikan diantara bunga, dan yang menebarkan keindahan pada        dunia. Younis~
            Menerima sms Younis yang demikian itu, tidak ada rasa marah, sedih ataupun kecewa. Aku seolah mengerti apa yang ia inginkan. Aku menunggunya, dia menungguku, sampai akhirnya nanti kami akan bersama di suatu tempat yang indah, dihadapan para saksi, dan waktu yang tepat. Untuk sekarang ini, kami hanya saling mendukung satu sama lain, dan ini yang terbaik.
            Sayup-sayup terdengar sebuah lagu yang tanpa sadar membuatku teringat kembali pada sosok yang selama ini hadir, mengiringi setiap mimpi-mimpi indahku, dan yang menjadi pelindung dalam titian hidupku.
Cinta kan membawamu…
Kembali di sini…
Menuai rindu…
Membasuh perih…
Bawa serta dirimu…
Dirimu yang dulu, mencintaiku…
Apa adanya…
            “Ketika asa menjadi sebuah keraguan, ketika keraguan menjadi sebuah penantian, ketika penantian menjadi sebuah perjuangan, dan ketika perjuangan menjadi sebuah kenyataan. Percayalah Younis, mungkin akan ada berjuta jatuh cinta, tapi padamu aku memilih membangunnya, agar tersusun bata demi bata, membangun gedung asmara, tinggi menggapai surga.’’
------ Selesai ----


** Sebuah cerpen yang sangat aku sukai yang dibuat oleh seorang teman untuk menyelesaikan sebuah tugas. Cerpen yang entah mengapa sangat membekas untukku . GOOD JOB !!! ^^ I LIKE IT ...