Matahari Masih Menyayangi Bumi
by : Ririn Nurlatifatun
Ini tidak hanya sekadar mengagumi tapi lebih kepada
menyukai, atau mungkin menyayangi bahkan lebih dari itu, mencintai! Yah,
mungkin benar, witing tresna jalaran saka kulina. Awalnya, tidak pernah sedikitpun terpikir
olehku untuk bisa menyayangimu. Bahkan, ketika teman-temanku menilai bahwa aku
akan bahagia bila bersamamu, aku tidak memerdulikan kata-kata mereka, aku hanya
menganggapnya sebuah lelucon belaka.
Mungkin mereka hanya ingin menghiburku, atau mungkin
hanya ingin aku cepat berlalu dari sebuah kisah bodoh di masa lalu yang selama
ini masih membayangiku, sebuah kisah dimana aku sangat menginginkan seseorang
untuk bisa aku miliki tapi sialnya, dia tidak pernah mengaharapkanku, dia
bahkan tak menganggapku.
Aku mungkin sangat menyukainya, hingga teman-temanku
bilang bahwa ini bukan lagi tentang perasaan cinta, tapi lebih kepada obsesi
semata. Benarkah hanya obsesi? Aku pun tak mengerti. Yang pasti, kedekatan di
masa lalu atau mungkin saat ini, tidak menjamin kebersamaan antara dua orang di
masa depan, aku meyakininya. So, buat apa memikirkan masa lalu yang hanya
membuatku tenggelam dan tidak bisa menikmati hidup.
“Move on, La, harus! Semangat, aku yakin pasti kamu bisa.
Ini mudah, kamu hanya butuh mencoba suka dengan orang lain, dan semua akan
beres! Pastinya.” Aku mencoba memotivasi diriku sendiri.
“Apa aku bisa? Benarkah? Sungguh ? Apakah aku yakin untuk
memulai sesuatu yang baru dan melupakan rasa sayang ini yang sudah lama aku
simpan dan hanya butuh penantian sedikit lagi untukmu menanti?”
Sisi jahatku mulai bicara, “Relakah kamu, dia dengan
orang lain? Beneran? Kalo aku jadi kamu sih gak rela! Ini terlalu panjang untuk
begitu saja dilupakan. Kalau perlu, kamu rebut dia dari pacarnya yang sok
cantik itu, kamu gak kalah cantik, La.”
“Jangan begitu, La. Biarkan dia bahagia dengan
pilihannya, begitu juga dengan kamu, kamu pantas mendapat yang lebih baik.
Jangan sia-siakan hidupmu hanya untuk menunggu orang yang sama sekali tidak ada
respon ke kamu. Mungkin dulu dia pernah benjaji untuk selalu bersamamu, aku
tahu ini mungkin sulit bagimu untuk melupakannya begitu saja, tapi maafkanlah
dia, La, dan mulailah mencoba hal yang baru. Kamu tidak membutuhkannya,
buktinya sampai sekarang kamu masih hidup.”
“Aduh, kalian membuatku pusing. Tau ah!”
Pagi ini, entah hari ke berapa, Younis menjemputku. Kami
pun berangkat bersama ke sekolah. Naik
sepeda! Jarak rumah kami ke sekolah memang cukup dekat, begitu juga dengan
jarak rumahku dengan Younis, sekitar 500m, aku mulai menyadarinya saat kami ternyata
bersekolah di SMA yang sama, keterlaluan! Itulah anak muda zaman sekarang,
kurang sosial!
“La, udah ditunggu Younis di depan. Cepat berangkat gih,
hati-hati.”
“Iya, Ma.” Aku mencium tangannya, lalu berlalu.
Terlihat Younis sudah menungguku di depan rumah. Aku
segera mengambil sepedaku dan mulai mengayuhnya. Terlihat seulas senyum menyambutku,
menambah segar udara pagi ini. Kami siap berangkat ke sekolah.
“Kamu lagi bahagia ya? Ada apa sih? Dapat undian
berhadiah?”
“Lebih dari undian berhadiah.” Younis menjawab dengan
ramahnya.
“Terus apa? Sampai segitu bahagianya. Kasih tau dong,
kalau enggak, awas!”
“Kalau aku enggak mau cerita memangnya kenapa? Aku cuma
takut kalau aku bilang, kita gak bisa deket kayak gini lagi. Aku maunya kita
tetep kayak gini, La.”
Dia memandangku. Aku agak sedikit senang, bingung tapi
juga agak kecewa karena Younis tidak mau cerita. Ya sudahlah, aku hanya butuh
memberinya waktu, nanti juga kalau waktunya tepat, pasti dia cerita.
***
“Sial! Selalu seperti ini.” batinku.
“Kenapa lagi, La? Younis ninggalin kamu di parkiran?
Lagi? ” Aneke mengagetkanku.
“Kamu tuh hobi ya ngagetin orang? Tapi, bener juga sih,
ini udah yang ke sekian kali, Younis ninggalin aku diparkiran. Selalu seperti
ini. Mungkin dia malu kali ya kalau ketahuan anak-anak kalau kami lagi barengan.”
“Loh kok jadi meracau gitu sih, itu cuma perasaan kamu,
La. Mungkin dia buru-buru, belum ngerjain PR kali.”
“Setiap hari gak ngerjain PR? Gak mungkin banget! Aku
udah ngingetin dia setiap hari untuk ngerjain PR, mana mungkin lupa.”
Bodo ah! Aku segera menggandeng tangan Aneke masuk ke
kelas tanpa ingin melanjutkan percakapan tentang Younis di parkiran tadi.
Saat istirahat tiba, ini sudah menjadi kebiasaan kami,
Aneke, Nanas, Rena, dan aku untuk pergi ke perpustakaan. Kami menyadari bahwa
kami sudah kelas 3, tidak ada waktu lagi untuk hanya sekadar bermain-main, kami
ingin menambah wawasan di sana, syukur-syukur ketemu Younis.
Aneke, Nanas, dan Rena memutuskan duduk di bangku sebelah
belakang pojok setelah mereka mendapat buku yang mereka cari, juga untuk
menungguku. Yah, sudah 15 menit aku disini, dan belum kutemukan buku yang aku
cari.
“Nah, ini dia, ketemu juga akhirnya.”
“Nas, Ke, Ren, udah ketemu nih bukunya. Cabut yuk.”
“Karena kita bertiga udah nunggu kamu lama, kamu harus
bawain buku-buku kita, La, haha. Kita mau mampir kantin dulu, ntar kamu nyusul
aja yah, atau mau nitip?” kata Rena.
“Sialan kalian, sahabat macam apa coba? Wuu. Yaudah sana,
aku nitip minuman aja.”
“Byeee, Lala sayang. Semangat bawa bukunya ya..” Nanas
menimpali.
Akhirnya aku membawakan buku-buku mereka, cukup berat
juga, aku tidak bisa begitu jelas memandang ke arah depan, tumpukan buku-buku
ini menghalangi pemandanganku. Apa jadinya ya, kalau ada yang menabrakku dengan
tumpukan buku seperti ini. Benar saja, baru aku memikirkannya, kejadian juga
deh.
Brukk..brukk.
Seseorang menabrakku. Buku-bukunya berantakan semua.
Kacau!
Aku segera membereskan buku-bukunya, belum sempat melihat
siapa yang menabrakku. Aku mencoba melihatnya, berniat memakinya karena dia
sama sekali tidak membantuku. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun, itu yang
menggambarkan sosok di depanku ini. Aku perkirakan tingginya 165an, aku hanya
bisa melihat kakinya yang tepat berada di depanku yang seolah bisa
sewaktu-waktu menendangku. Kalau dia berani, akan aku tonjok wajahnya.
Perlahan aku mendongak ke atas. Aku menemukan sosok yang
aku cari saat memutuskan ke perpustakaan tadi. Younis!
Kalimat makian yang tadi sudah aku rencanakan seakan
tidak mau keluar dari mulutku. Sesaat kemudian, tubuhku kaku, tidak ada kata
yang mampu aku ucapkan, lebay! Di hadapanku, sekarang berdiri seorang cowok
yang aku suka, dia bersama teman-temannya, entah kemana tujuan mereka, aku
tidak begitu peduli.
Aku memandangnya, meneliti setiap lekuk wajahnya, dan
memang benar ini Younisku. Tapi kenapa dia hanya diam, tidak menyapaku sama
sekali, seolah kita tidak pernah dekat satu sama lain, yang lebih parah kita
seolah tidak pernah kenal, ini seperti pertemuan yang pertama kalinya.
“Fi, kamu kenal cewek ini?” Tanya salah seorang teman
Younis. Yah, kebanyakan anak-anak manggil Younis dengan nama Rifian, nama
engkapnya kan Younis Rifian Pradipta, aku lebih suka memanggilnya Younis.
Reflek Younis, “Ehh apa? Enggak kenal aku sama cewek ini.
Anak baru kah?”
Degggg! Perasaanku campur aduk. Kepalaku terasa berat,
seperti ada sesuatu yang memenuhinya, ingin sekali meledak saat itu juga. Aku
mencoba menahannya, tapi kejadian ini tidak bisa ditolerir!
“Oke, Younis, fine! Jadi ini akhirnya? Kali ini,
kamu aku maafkan, tapi lain waktu, tidak ada kata maaf!” batinku.
Aku segera berlalu dari TKP. Terdengar suara mereka yang
masih membiacarakan tentang tabrakan kami tadi, mungkin mereka mengira betapa
terpesonanya aku pada Younis, bodoh sekali! Aku menyesalinya. Harusnya aku tadi
menonjoknya biar dia tahu rasa, aku juga manusia, punya perasaan!
Yah memang aku bukan termasuk cewek popular di sekolah,
pantas kalau mereka tidak mengenalku. Tapi, tetap saja, huh!
Hari ini benar-benar ingin cepat aku akhiri. Aku sudah
tidak punya konsentrasi untuk pelajaran lagi. Pikiranku hanya tertuju pada
Younis. Aku tidak menyangka bahwa akan secepat ini aku tahu buruknya.
“Aku kecewa! Jangan harap aku memaafkanmu, Nis.
@#$%!&@*@” reflek aku menggebrak meja.
Pak Aji yang sedari tadi mengajar kelas XII A7 pun sontak
kaget, tak mengerti apa yang sedang aku lakukan, tapi satu hal yang pasti dia
mengerti bahwa sejak dari tadi, aku tidak mendengarkan pelajarannya, lebih
tepatnya ceramahnya. Jadilah aku diusir dari kelas. Alkhamdulillaah hirobbil
‘aalamiin!
“Cusss……Pulang! Asiikkkkk….” batinku.
Aku menuju parkiran, mencari sepedaku. Sepedaku terparkir
di sebelah sepeda Younis. Saking kesalnya aku pada sikap Younis, sepedanya pun
jadi korbannya.
“Heh kamu, bilangin ya sama majikanmu yang busuk itu, aku
gak suka sama cara dia, kalau dia gak suka sama aku, suruh bilang langsung aja,
gak usah sok gak kenal gitu. Kamu pasti gak merasakan kan gimana sakitnya aku?
Eh, kamu kan gak punya hati ya? Sama kayak majikanmu tuh! Jangan harap, aku mau
memaafkannya. @#$%%^&*”
Lumayan, sedikit lega akhirnya, setidaknya emosiku bisa
aku tumpahkan walau belum semuanya, terlintas dipikiranku untuk berteriak
sepanjang jalan pulang, aku memang sudah gila. Ini semua gara-gara…..(kalian
tau sendiri kan, tanpa aku ceritakan).
Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Aku tidak
makan, bahkan aku tidak lapar. Aku tidak tidur siang seperti biasa, bahkan aku
tidak mengantuk. I’m gonna explode! Aku ingin menangis, meneteskan air mata,
tapi aku tidak bisa, ini yang membuatku lebih sedih.
Anyanghaseo…ada telepon masuk nih, angkat dong!
Terdengar suara ringtone hapeku berbunyi untuk yang
kesekian kalinya. Pasti Aneke, Nanas, atau Rena, pasti mereka khawatir dengan
keadaanku saat ini. Sms mereka tidak ada satupun yang aku balas. Aku ingin
menenangkan diri dulu, belum mau bercerita banyak, tapi aku berencana menceritakannya.
Kring..kring, sms diterima.
Perlahan aku membuka dan
membacanya.
From : Younis
26/11/13 21:37
Aku
tahu kamu pasti marah.
Aku tahu kamu pasti kecewa.
Aku tahu sekarang kamu pasti sedang
membutuhkan waktu sendiri. Sebelumnya, aku minta
maaf karena mengganggu istirahatmu.
From : Younis
26/11/13 21:40
Aku
juga minta maaf karena telah menyakiti hatimu.
Bukannya aku tidak mau mengakuimu di
hadapan teman-temanku, ini terlalu rumit, La.
Yang pasti, aku terlalu menyayangimu, hingga aku tidak mau menyakitimu sedikitpun dengan memacarimu atau yang
lainnya.
From : Younis
26/11/13 21:43
Aku
akan menunggumu, La, raih cita-citamu, gapai impianmu, buatlah orang yang sayang padamu bangga akan dirimu, begitu
juga aku, aku sedang berusaha.
Disaat yang tepat, aku akan datang ke
rumahmu, memintamu pada orangtuamu secara
resmi, bukan seperti ini. Aku harap kamu mengerti.
From
: Younis
26/11/13
21:46
Mungkin lebih baik kita berpisah
sementara,sejenak saja menjadi kepompong dan menyendiri
hingga tiba waktunya menjadi kupu-kupu yang terbang menari ,melantunkan kebaikan diantara bunga, dan yang
menebarkan keindahan pada dunia.
Younis~
Menerima sms Younis yang demikian itu, tidak ada rasa
marah, sedih ataupun kecewa. Aku seolah mengerti apa yang ia inginkan. Aku
menunggunya, dia menungguku, sampai akhirnya nanti kami akan bersama di suatu
tempat yang indah, dihadapan para saksi, dan waktu yang tepat. Untuk sekarang
ini, kami hanya saling mendukung satu sama lain, dan ini yang terbaik.
Sayup-sayup terdengar sebuah lagu yang tanpa sadar
membuatku teringat kembali pada sosok yang selama ini hadir, mengiringi setiap
mimpi-mimpi indahku, dan yang menjadi pelindung dalam titian hidupku.
Cinta kan membawamu…
Kembali di sini…
Menuai rindu…
Membasuh perih…
Bawa serta dirimu…
Dirimu yang dulu, mencintaiku…
Apa adanya…
“Ketika asa menjadi sebuah keraguan, ketika keraguan
menjadi sebuah penantian, ketika penantian menjadi sebuah perjuangan, dan ketika
perjuangan menjadi sebuah kenyataan. Percayalah Younis, mungkin akan ada
berjuta jatuh cinta, tapi padamu aku memilih membangunnya, agar tersusun bata
demi bata, membangun gedung asmara, tinggi menggapai surga.’’
------ Selesai
----
** Sebuah cerpen yang sangat aku sukai yang dibuat oleh seorang teman untuk menyelesaikan sebuah tugas. Cerpen yang entah mengapa sangat membekas untukku . GOOD JOB !!! ^^ I LIKE IT ...